Pages

Tampilkan postingan dengan label artike;. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artike;. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 April 2011

Sistem Informasi Perpustakaan

0 komentar

Konsep Sistem Informasi Perpustakaan sebenarnya perpustakaan selalu mengikuti perkembangan teknologi komputer. Bahkan ketika mesin komputer belum digerakkan oleh program elektronik, melainkan oleh punch card (kartu yang berlubang), perpustakaanpun sudah menerapkannya untuk meja sirkulasi. Ketika itu, sistem ini disebut dengan library mechanization atau mekanisasi perpustakaan. Setelah teknologi komputer digital lahir, perpustakaan pun menerapkan library automation system atau sistem automasi perpustakaan. Istilah ini populer di tahun 1980an dan mulai surut setelah teknologi PC, jaringan lokal, dan pangkalan data relasional mulai mengubah lanskap komputerisasi. Sebagai gantinya muncul integrated library system (ILS) atau sistem perpustakaan terintegrasi. Sistem ini memperlihatkan kemampuan mengintegrasikan data yang lebih meluas, dan dengan demikian memungkinkan manajemen informasi yang lebih komprehensif. Ketika teknologi berkembang lebih maju lagi dan melahirkan konsep perpustakaan digital, istilah integrated library system menjadi agak kedodoran, terutama karena ada hal-hal yang tidak sepenuhnya dapat diintegrasikan ke dalam sistem perpustakaan. Terutama akibat kehadiran Internet dan berbagai aplikasi berbasis Web, maka integrated library system kini harus mencakup pula setidaknya 4 fenomena baru, yaitu:

• Pangkalan data online yang pertumbuhannya makin besar dari segi volume, dan makin spesifik dari segi jenis kandungan isi,
• Sumberdaya Internet atau Web yang sangat dinamis, kadang bersifat ephemeral, antara ada dan tiada.
• Koleksi yang sepenuhnya digital atau born digital
• Pertumbuhan buku elektronik dan jurnal elektronik yang sangat cepat sekaligus rumit.

Sebagai sebuah sistem informasi, perpustakaan serupa dengan berbagai institusi lainnya yang memakai teknologi untuk mengelola data dan informasi di dalam kegiatan sehari-hari. Secara awam istilah “sistem informasi” (information system) lebih banyak dihubungkan dengan penggunaan sistem komputer di dalam kegiatan manajemen, terutama di bidang bisnis. Saat ini, sistem informasi sebagai teknologi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua organisasi moderen. Penggunaan teknologi ini kemudian secara khusus memerlukan pengaturan dan pengelolaan yang bersifat khusus, sehingga sistem informasi itu sendiri akhirnya lebih sering disebut sebagai “manajemen sistem informasi” (information system management). Di bawah payung istilah ini, terdapat berbagai kegiatan mulai dari perencanaan sistem, perawatan, sampai pengukuran kinerjanya. Pada umumnya, kata “sistem” di dalam istilah ini mencakup tidak saja mesin atau perangkat keras (hardware), tetapi juga perangkat lunak (software), dan manusia (perancang, pengelola, pengguna) serta segala persoalan dan perilaku mereka.

Ketika muncul berbagai persoalan akibat penerapan teknologi informasi dalam kegiatan organisasi bisnis, orang mulai lebih memperhatikan sistem informasi bukan hanya sebagai peralatan kerja di kantor-kantor, melainkan sebagai sebuah fenomena yang lebih luas dan rumit. Apalagi, sebagai bagian dari organisasi, maka sistem informasi dengan serta merta menjadi bagian dari segala persoalan organisasi, termasuk persoalan hubungan antar manusia dan kultur organisasi.

Komputer sebagaimana yang kita kenal saat ini diciptakan pertamakali di Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II terutama untuk kepentingan organisasi-organisasi militer. Jika kita ingin melihatnya sebagai “mesin organisasi”, maka sebenarnya aspek komputerisasi yang pertama digunakan dalam bisnis adalah kelanjutan dari penggunaan “kartu berlubang” (punch card) yang sudah beredar di kantor-kantor pada tahun 1930an. Dengan kata lain, komputer mengawali karirnya di bidang organisasi sebagai pengolah data, terutama data numerik. Salah satu nenek moyang komputer, yaitu ENIAC, pertamakali dioperasionalkan pada tahun 1946 adalah kepanjangan dari Electronic Numerical Integrator and Calculator.

Sekitar sepuluh tahun kemudian, penggunaan komputer dalam bidang non militer mulai dipikirkan, dan diperkenalkanlah UNIVAC 1 untuk membantu kantor sensus pemerintah Amerika Serikat. Setelah itu, beberapa perusahaan swasta mulai tertarik, dan salah satu pabrik perusahaan General Electric (GE) di Louisville, Kentucky, AS, dianggap sebagai pionir penggunaan komputer di bidang non militer dan non pemerintah. Menarik juga untuk dilihat bahwa perpustakaan-perpustakaan di lembaga swasta besar dan lembaga-lembaga pemerintah ikut ‘keciptratan’ menggunakan komputer, sehingga bidang perpustakaan termasuk bidang yang sudah disentuh teknologi komputer sejak awal. Walaupun sebenarnya juga terlihat bahwa perpustakaan lebih dianggap sebagai pengguna saja, dan jarang terlibat dalam riset pengembangan lebih jauh tentang komputer itu sendiri.

Bersamaan dengan ketertarikan pihak swasta, teknologi komputer mulai berkembang pesat karena ada tiga hal penting: (1) daya tampung memori yang semakin besar, (2) standardisasi dan formalisasi bahasa pemrograman, dan (3) dimulainya pengembangan perangkat lunak dasar yang menjadi basis bagi berbagai aplikasi khusus, yang kemudian dikenal sebagai sistem pengoperasian (operating system). Sejak itulah, komputer berkembang cepat dan kita pun mengenal perkembangan tersebut lewat istilah “generasi”, yang terutama dikaitkan dengan kemampuan komputasi, dari segi kecepatan pemrosesan dan tingkatan kecanggihan teknologi. Orang percaya, komputer Generasi Keempat yang mulai marak pada tahun 1970an adalah jenis komputer yang paling menentukan perkembangan sistem infomasi selanjutnya dalam konteks organisasi dan bisnis. Komputer generasi ini sudah menggunakan memori semikonduktor yang memungkinkan penggunaan proses dan pemrograman rumit, sehingga aplikasinya tidak hanya untuk menghitung, tetapi untuk hampir segala kegiatan di dalam sebuah kantor bisnis. Apalagi kemudian teknologi komputer mulai bergabung dengan teknologi jaringan dan telekomunikasi. Tiba-tiba saja, komputer bukan lagi semata-mata kalkulator, melainkan mata-telinga dan jaringan urat syaraf setiap organisasi moderen.

Jika di bidang bisnis pada awalnya komputer hanya terutama digunakan untuk menghitung dan mengelola data secara terpisah-pisah, maka komputer Generasi Keempat memungkinkan keseluruhan kegiatan bisnis dijalankan dengan komputer. Secara khusus bermuncullanlah aplikasi untuk perencanaan, penelitian dan pengembangan, rekayasa, pemasaran, pengadaan barang, gudang dan logistik, kepegawaian, akuntansi, dan sebagainya. Aplikasi-aplikasi ini akhirnya menjadi bagian dari keseluruhan kegiatan organisasi yang menggunakan komputer dan terlihat menyatu dengan struktur organisasi. Penggunaan jaringan lokal memungkinkan berbagai komputer diintegrasikan ke dalam keseluruhan proses kerja di sebuah organisasi, sementara jaringan telekomunikasi yang akhirnya meluas sampai global dalam bentuk Internet, memungkinkan organisasi melakukan proses-proses global pula tanpa terhambat oleh ruang dan waktu.

Setelah berkembang sedemikian jauh, maka akhirnya sistem informasi tidak lagi dapat dilihat sebagai semata-mata penerapan teknologi atau penggunaan mesin. Sebagaimana dikatakan oleh Gregor (2005), sistem informasi adalah bidang yang memerlukan pengetahuan tentang dunia sistem fisik, dunia perilaku manusia, dan dunia artefak buatan, memerluka teori yang membahas ketiganya secara integratif. Dia menolak pandangan bahwa sistem informasi merupakan bagian dari manajemen sebagai “organizational behaviour”, dan bukan juga tentang teknologi semata, seperti yang dikaji oleh ilmu komputer. Beda antara sistem informasi dengan bidang-bidang itu adalah pada penekanan sistem informasi pada penggunaan artefak dalam sistem manusia-mesin. Kajian dan teori tentang sistem informasi dengan demikian tidak hanya berurusan dengan sistem teknologi mesin, atau hanya dengan sistem sosial, dan juga bukan dengan sistem mesin yang berdampingan dengan sistem sosial. Kajian dan teori sistem informasi berurusan dengan hasil interaksi antara sistem mesin dan sosial.

Di bidang perpustakaan, dan khususnya bidang perpustakaan digital, pengertian sistem informasi sebagai sistem yang lebih luas daripada hanya sekadar sistem mesin, segera menimbulkan fenomena ‘gayung bersambut’ ketika para perancang dan pengembang sistem memasukkan kajian tentang perilaku penggunaan informasi sebagai bagian dari disain mereka. Sistem informasi perpustakaan pun dilihat sebagai sistem yang lebih banyak berkaitan dengan konteks sosial di mana perpustakaan itu berada. Dari sini muncul pemikiran untuk memisahkan automasi perpustakaan dari sistem informasi perpustakaan. Jika automasi perpustakaan sangat berurusan dengan upaya efisiensi kegiatan operasional, maka sistem informasi perpustakaan dianggap lebih luas dari itu. Termasuk dalam pengembangan sistem informasi perpustakaan adalah pengelolaan hubungan dengan pengguna, misalnya dalam bentuk kegiatan information literacy. Selain itu, dalam konteks perpustakaan digital, sistem informasi perpustakaan juga segera dapat dikaitkan dengan infrastruktur yang lebih luas, misalnya dengan cyberstructure.

Sebelumnya memang sudah disinyalir oleh Lee (1999), kajian tentang sistem informasi manajemen dimulai di penghujung kajian ilmu komputer. Artinya, ilmu komputer memang sudah berkembang dan berhasil menghadirkan teknologi informasi dalam bentuk perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan komputer. Namun karena tidak ada teknologi yang bisa mengaplikasikan dirinya sendiri ke dalam sebuah sistem, maka perlu kajian yang lebih dari sekadar mempelajari dan mengembangkan teknologi. Dari segi ini, maka menurut Lee sebuah sistem informasi adalah perwujudan atau pengejawantahan dari teknologi informasi untuk berbagai keperluan yang tidak seragam. Fenomena ini dikenal dengan istilah instantiasi (instantiation) Dalam instantiasi di berbagai situasi dan lingkungan yang tidak seragam inilah maka sistem informasi berurusan dengan proses organisasional dan politik organisasi yang amat kaya.

Lebih jauh Lee menyatakan bahwa sistem informasi dan konteks organisasi bersifat saling memengaruhi dan saling mengubah, seperti reagents (zat yang menimbulkan reaksi dan bereaksi terhadap zat lain) di dalam sebuah larutan kimia. Ketika sebuah sistem informasi dibangun di sebuah organisasi, yang terjadi adalah sebuah proses “menjadi” atau “mewujud” (emergent). Apa yang akhirnya terjadi atau terwujud adalah hasil interaksi antara sistem dan organisasinya. Lalu, Lee mempertegas lagi bahwa teknologi informasi adalah teknologi intelektual, sebagai lawan dari teknologi industrial. Teknologi yang terakhir ini merupakan teknologi yang punya fungsi yang spesifik dan sudah tertentu. Contohnya adalah teknologi mesin uap atau teknologi pembubutan. Sebaliknya, teknologi informasi memiliki fungsionalitas yang tidak spesifik serta memiliki potensi untuk diinovasi seluas mungkin, tergantung pada hasil interaksi teknologi ini dengan kemampuan intelektual manusia pemakainya. Akibatnya pula, terjadi keragaman hasil implementasi teknologi informasi di organisasi yang berbeda. Sifat beragam ini merupakan sumbangan dari keluwesan teknologi informasi dan kekhasan masing-masing organisasi yang notabene dijalankan oleh kemampuan intelektual dari para pengelola dan aggota organisasi tersebut.

Dari keadaan umum tersebut, Lee akhirnya menyimpulkan bahwa ada empat dimensi yang saling berkaitan dalam sistem informasi, yaitu:
• Manajemen sistem informasi melibatkan tidak hanya teknologi informasi, tetapi juga instantiasinya. Dalam konteks perpustakaan digital, terlihat kompleksitas hubungan antara berbagai institusi, sebagaimana terjadi di dunia perguruan tinggi ketika ada upaya mengintegrasikan lembaga-lembaga penelitian, pengajaran, dan perpustakaan dalam lingkup e-learning dan e-research.
• Manajemen sistem informasi melibatkan pula sistem informasi dan konteks organisasinya, keduanya sebagai elemen yang saling bereaksi dan tidak dapat saling dipisahkan. Perkembangan perpustakaan digital saat ini menimbulkan perhatian kepada perubahan dalam cara-cara organisasi maupun masyarakat luas memandang, mengelola dan memanfaatkan informasi, sebagaimana yang tercermin dalam kontroversi tentang Open Access dan masalah copy rights yang terikutkan di dalamnya.
• Manajemen sistem informasi mengandung teknologi intelektual. Jelas pula bahwa perkembangan teknologi informasi berpengaruh langsung dalam menempatkan perpustakaan digital di pusat perpusaran produksi dan konsumsi pengetahuan yang sangat dinamis. Sistem informasi perpustakaan seringkali pula dikaitkan secara langsung dengan manajemen pengetahuan (knowledge management).
• Manejemen sistem informasi melibatkan aktivitas sebuah profesi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi korporasi sebagai bagian integral dari sistem informasi yang bersangkutan. Di bidang perpustakaan digital, misalnya, muncul tuntutan baru bagi para pustakawan untuk meningkatkan pengetahuan mereka di bidang teknologi, dan sebaliknya para teknolog komputer kini semakin banyak mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan, misalnya dalam hal temu-kembali dan preservasi.